Beranda | Artikel
Kiat Shalat Khusyuk #06
Senin, 18 November 2019

Kali ini kita lanjutkan lagi kiat shalat khusyuk.

Kedua puluh tiga: Tidak shalat di masjid bagi orang yang habis makan bawang merah, bawang putih, atau bawang bakung.

Dari Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلاً فَلْيَعْتَزِلْنَا – أَوْ قَالَ – فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا ، وَلْيَقْعُدْ فِى بَيْتِهِ

Siapa makan bawang merah atau bawang putih, hendaklah ia menjauh dari kami atau hendaknya ia menyingkir dari masjid kami, dan duduk di rumah saja.” (HR. Bukhari, no. 855 dan Muslim, no. 564)

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ – فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ

Siapa yang makan bawang merah atau bawang putih atau bawang bakung, hendaklah ia tidak mendekati masjid kami karena para malaikat itu terganggu sebagaimana manusia pun terganggu dengannya.” (HR. Muslim, no. 564)

Dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia pernah berkhutbah pada hari Jumat. Ia berkata di dalam khutbahnya,

ثُمَّ إنَّكُمْ أيُّهَا النَّاسُ تَأكُلُونَ شَجَرتَيْنِ مَا أرَاهُمَا إِلاَّ خَبِيثَتَيْن : البَصَلَ ، وَالثُّومَ . لَقَدْ رَأَيْتُ رسولَ الله – صلى الله عليه وسلم – ، إِذَا وَجدَ ريحَهُمَا مِنَ الرَّجُلِ في المَسْجِدِ أَمَرَ بِهِ ، فَأُخْرِجَ إِلَى البَقِيعِ ، فَمَنْ أكَلَهُمَا ، فَلْيُمِتْهُمَا طَبْخاً

“Kemudian sesungguhnya kalian, wahai manusia, kalian suka memakan dua pohon yang aku tidak melihatnya melainkan mengandung bau yang tidak menyedapkan, yaitu bawang merah dan bawang putih. Padahal sungguh aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mendapatkan bau keduanya dari seseorang di dalam masjid, beliau memerintahkan agar orang tersebut dikeluarkan ke Baqi’. Oleh karena itu, barangsiapa yang memakannya, hendaklah menghilangkan baunya dengan dimasak.” (HR. Muslim, no. 567)

 

Kedua puluh empat: Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri

Dalam hadits Wail bin Hujr disebutkan,

ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى ظَهْرِ كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ وَالسَّاعِدِ

“Kemudian meletakkan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, di pergelangan tangan, atau di lengan tangan kiri (as-saa’id yaitu antara siku dan telapak tangan).” (HR. Ahmad,4:318 dan Abu Daud,no. 727. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Bisa juga tangan kanan menggenggam tangan kiri (yang dimaksud pergelengan tangan kiri) sebagaimana disebutkan dalam hadits Wail bin Hujr, ia berkata,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي الصَّلَاةِ قَبَضَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ

“Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berdiri dalam shalat, tangan kanan beliau menggenggam tangan kirinya.” (HR. An-Nasa’i,no. 8878 dan Ahmad, 4:316. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

Lalu bagaimana posisi tangan saat sedekap?

Dalam hadits disebutkan, dari Ghazwan bin Jarir Adh-Dhabi, dari bapaknya, ia berkata,

رَأَيْتُ عَلِيًّا – رضى الله عنه – يُمْسِكُ شِمَالَهُ بِيَمِينِهِ عَلَى الرُّسْغِ فَوْقَ السُّرَّةِ

“Aku pernah melihat ‘Ali radhiyallahu ‘anhu memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya pada pergelangan tangan lalu diletakkan di atas pusar.” (HR. Abu Daud, no. 757. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan. Syaikh Al-Albani mendhaifkan hadits ini dalam Irwa’ Al-Ghalil).

Dari Abu Juhaifah, bahwasanya ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

السُّنَّةُ وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِى الصَّلاَةِ تَحْتَ السُّرَّةِ.

“Termasuk sunnah meletakkan telapak tangan pada telapak tangan dalam shalat di bawah pusar.” (HR. Abu Daud, no. 756. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini dhaif karena majhulnya Ziyad bin Zaid dan dianggap dhaif menurut jumhur).

Dari Qabishah bin Hulb, dari bapaknya, ia berkata,

رَأَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَنْصَرِفُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ وَرَأَيْتُهُ – قَالَ – يَضَعُ هَذِهِ عَلَى صَدْرِهِ

“Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling dari kanannya dan dari kirinya, aku melihatnya ketika itu meletakkan tangannya di dadanya.” (HR. Ahmad, 5:226. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lain selain pada kalimat “meletakkan tangannya di dadanya”, sanadnya dhaif karena majhulnya Qabishah bin Hulb).

Syaikh As-Sa’di dalam Manhaj As-Salikin berpendapat bahwa posisi tangan saat sedekap itu bebas. Beliau rahimahullah berkata,

وَيَضَعُ يَدَهُ اليُمْنَى عَلَى اليُسْرَى فَوْقَ سُرَّتِهِ أَوْ تَحْتَهَا أَوْ عَلَى صَدْرِهِ

“Lalu yang shalat meletakkan telapak tangan kanan pada telapak tangan kiri di atas pusarnya, di bawah pusar, di dadanya.”

Pendapat memilih seperti ini juga menjadi salah satu pendapat dalam madzhab Imam Ahmad, juga menjadi pilihan Al-Auza’i. Imam Tirmidzi berpandangan bahwa pendapat memilih posisinya di mana saja menjadi pendapat sahabat dan tabi’in, juga menjadi pilihan Ibnul Mundzir. Lihat Mulakhash Fiqh Al-‘Ibadat, hlm. 207.

 

Kedua puluh lima: Berisyarat dengan jari telunjuk

Dalam hadits disebutkan,

كَانَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ إِذَا جَلَسَ فِي الصَّلاَةِ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَأَشَارَ بِأَصْبَعِهِ وَأَِتْبَعَهَا بَصَرَهُ، وَقَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَهِيَ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنَ الحَدِيْدِ يَعْنِي : السَّبَابَةَ

‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma jika duduk dalam shalat, ia meletakkan kedua tangan di atas kedua lutut, berisyarat dengan jarinya, dan mengarahkan pandangannya pada jari tersebut, kemudian ia berkata, “Sungguh itu lebih berat bagi setan dibanding besi.” Maksudnya, jari telunjuk. (HR. Ahmad, 2:119 dan Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalam kitab Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Ada beberapa aturan berisyarat dengan jari ketika tasyahud (tahiyat) yang diajarkan oleh Imam Nawawi rahimahullah berarti aturan ini berdasarkan madzhab Syafi’i dengan dukungan dalil. Penjelasannya sebagai berikut.

1- Isyarat jari tersebut diarahkan ke arah kiblat. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.

2- Diniatkan dengan isyarat tersebut untuk menunjukkan ikhlas dan tauhid. Hal ini disebutkan oleh Al-Muzani dalam Mukhtashar Al-Muzani, juga pendapat ulama Syafi’iyah lainnya. Al-Baihaqi beralasan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang majhul dari kalangan sahabat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jari untuk menunjukkan tauhid (ikhlas). Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia menyatakan bahwa hal itu untuk menunjukkan keikhlasan.

3- Dimakruhkan beisyarat dengan dua jari telunjuk dari dua tangan. Karena yang disunnahkan tangan kiri dibentangkan (tidak berisyarat).

4- Seandainya tangan kanan terpotong, sunnah berisyarat dengan jari menjadi gugur. Sunnah tersebut tidak bisa tergantikan dengan tangan lain karena nantinya hal sunnah pada lainnya akan ditinggalkan. Sama halnya dengan thawaf, tiga putaran pertama disunnahkan untuk melakukan raml (berjalan dengan langkah cepat, pen.). Jika putaran ketiga tidak bisa melakukan raml, maka tidak perlu hal tadi dilakukan di putaran keempat karena sunnah meninggalkan raml di putaran keempat jadi tidak dilakukan.

5- Pandangan orang yang bertasyahud adalah memandang pada isyarat jarinya. Hal ini berdasarkan riwayat Al-Baihaqi dan selainnya dari hadits ‘Abdullah bin Az-Zubair bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan kanan dan berisyarat dengan jarinya, lantas pandangannya pada isyarat jari tersebut.

Demikian keterangan Imam Nawawi dalam Al-Majmu’, 3:302.

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (5:73-74), “Berisyarat dengan jari telunjuk dimulai dari ucapan “illallah” dari ucapan syahadat. Berisyarat dengan jari tangan kanan, bukan yang lainnya. Jika jari tersebut terpotong atau sakit, maka tidak digunakan jari lain untuk berisyarat, tidak dengan jari tangan kanan atau pun jari tangan kiri. Disunnahkan pandangan tidak lewat dari isyarat jari tadi karena ada hadits shahih disebutkan dalam sunan Abi Daud yang menerangkan hal ini. Isyarat tersebut dengan mengarah kiblat. Isyarat tersebut sebagai pertanda tauhid dan ikhlas.”

 

Kedua puluh enam: Melihat ke tempat sujud dan jari telunjuk

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الكَعْبَةَ مَا خَلْفَ بَصَرِهِ مَوْضِعَ سُجُوْدِهِ حَتَّى خَرَجَ مِنْهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk Ka’bah, tidak melepas pandangannya dari tempat sujudnya sampai keluar darinya.” (HR. Ibnu Hibban, 4:332 dan Al-Hakim, 1:652. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih sebagaimana dalam kitab Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Yang dikecualikan tidak memandang tempat sujud adalah ketika tasyahud.

Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كَانَ إِذَا قَعَدَ فِي التَّشَهُّدِ وَضَعَ كَفَّهُ اليُسْرَى عَلَى فَخْذِهِ اليُسْرَى وَأَشَارَ بِالسَّبَابَةِ لاَ يُجَاوِزُ بَصَرُهُ إِشَارَتَهُ  .

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya kalau duduk dalam tasyahud, menaruh tangan kiri di atas paha kiri dan dan memberikan isyarat dengan jari telunjuk. Dan pandangannya tidak keluar dari isyaratnya.” (HR. Abu Daud, no. 990 dan An-Nasai, no. 1275. Ini adalah lafazh An-Nasai., Imam Nawawi menyatakan hadits ini sebagaimana disebutkan dalam Syarh Shahih Muslim, 5:81. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

 

Referensi Utama:

Al-Khusyu’ fii Ash-Shalah fii Dhau Al-Kitab wa As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1434 H. Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani.

 

 


 

 

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 


Artikel asli: https://rumaysho.com/22568-kiat-shalat-khusyuk-06.html